Di desa kecil tempat ia mengajar, Bu Wati dikenal sebagai sosok yang sabar, murah senyum, dan selalu menomorsatukan murid. Sebagai guru honorer berusia 45 tahun, gajinya pas-pasan — cukup untuk kebutuhan pokok, tak cukup untuk mimpi besar. Namun, di balik kesederhanaan itu, tumbuh keinginan yang kuat: sekali seumur hidup ingin menginjakkan kaki di Tanah Suci.
Mimpi yang Tak Pernah Padam
Selama kurang lebih setahun, mimpi itu sering datang. Di sela-sela mengajar, Bu Wati melamun membayangkan Ka'bah, menyiapkan doa di malam hari, dan berangan-angan merasakan ketenangan batin yang hanya dimengerti mereka yang pernah menginjakkan kaki di Makkah. Meski tabungan tidak cukup dan kehidupan harian penuh keterbatasan, kerinduan itu malah makin menggebu—sebuah rindu yang manis sekaligus menyayat hati.
Ketika Takdir Menyapa
Tak lama kemudian, kabar yang tak terduga tiba dari sekolahnya. Komite sekolah berencana memberangkatkan satu guru umroh sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi tenaga pengajar. Pilihan komite jatuh kepada Bu Wati. Saat namanya diumumkan, suasana hening, lalu pecah dalam tangis haru dan pelukan dari rekan sejawat. Seorang guru honorer, dengan gaji di bawah rata-rata, kini akan mewujudkan mimpinya karena kemurahan hati komunitasnya.
"Saya hanya bisa berdoa dan bekerja, tapi ternyata Allah menuliskan jalan yang indah melalui tangan-tangan orang baik di sekitar saya." — Bu Wati
Perjalanan Bersama Kelana Haramain
Semua persiapan administrasi hingga manasik diatur oleh Kelana Haramain, travel yang berlokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Dari awal, pelayanan mereka hangat, penuh perhatian, dan sangat membantu Bu Wati yang merupakan jamaah pertama dari lingkungan sekolahnya.
Tim pendamping memastikan kenyamanan: membantu mengurus dokumen, memberi pengarahan manasik yang sabar, hingga mendampingi saat jadwal ibadah. Bagi Bu Wati, pelayanan ini bukan sekadar profesionalisme—melainkan wujud empati yang membuat hatinya lega dan tenang.
Momen yang Menyentuh
Ada momen-momen yang membuat Bu Wati tak bisa berhenti menangis bahagia: saat pertama kali menatap Ka'bah dari dekat, saat tawaf mengelilingi Ka'bah, dan ketika berdoa sambil menggenggam tasbih pemberian murid-muridnya. Tangisan itu bukan tanda kelemahan, melainkan luapan syukur yang tak terbendung.
Sepulangnya, cerita Bu Wati menyebar ke seluruh desa—sebuah kisah inspiratif tentang harapan yang dijawab, tentang komunitas yang peduli, dan tentang perjalanan ibadah yang memberi makna baru pada kehidupan seorang guru sederhana.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
- Kebaikan kolektif (seperti inisiatif komite sekolah) bisa mengubah hidup seseorang.
- Perjalanan spiritual tidak selalu soal kemampuan finansial; seringkali melibatkan dukungan sesama.
- Pilih mitra travel yang benar-benar peduli—seperti Kelana Haramain—agar ibadah berjalan lancar dan penuh berkah.